Pada zaman dahulu kala, ada seorang pengelana yang sedang mengembara.
Dalam perjalanan, karena ia sudah cukup lama berjalan, mampirlah ia di
sebuah kedai. Uang sisa bekalnya tinggal sedikit, tapi karena perutnya
lapar, maka ia membeli makanan dengan lauk sederhana. Baru saja sang
pengelana akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ada
seorang anak kecil yang menangis. Si pengelana bertanya kenapa anak itu
menangis. Dengan masih terisak-isak si anak menjawab bahwa ia belum
makan sejak pagi. Sebenarnya sang pengelana juga belum makan sejak
kemarin, tapi karena kebaikan hatinya, ia berpikir bahwa anak itu lebih
membutuhkan makan. Sang pengelana memberi makanan itu pada si anak. Si
anak pun berhenti menangis, lalu langsung pergi tanpa mengucapkan
apapun.
Sang pengelana lalu melanjutkan perjalanan. Saat hari mulai gelap ia
memutuskan untuk bermalam di bawah sebuah pohon yang rindang. Baru saja
matanya akan terlelap, ada suara seorang pemuda yang membangunkannya.
Bisakah kau memberiku uang, tanya si pemuda itu. Aku menghilangkan uang
ayahku, dan aku akan dihajarnya kalau tidak segera mendapat gantinya.
Dengan kemurahan hatinya, sang pengelana memberikan sisa uang yang ia
miliki pada si pemuda. Si pemuda pergi, seperti anak yang tadi, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Keesokan harinya, sang pengelana berencana untuk melanjutkan
perjalanannya meninggalkan desa itu. Di perbatasan desa, di kedai yang
kemarin, sang pengelana melihat makanan yang kemarin ia beri kepada
seorang anak dibuang ke tempat sampah. Sementara anak itu kini sedang
bermain-main bersama temannya. Ketika sang pengelana lewat anak itu
berkata, “Hei, makananmu tidak enak! Dasar bodoh, dengan mudahnya kau
tertipu, padahal mana mungkin aku akan memakan makanan sampah seperti
itu!”, dengan diringi derai tawa teman-temannya. Sang pengelana hanya
tersenyum, lalu kembali berjalan dan berkata dalam hati, ‘Setidaknya
makanan yang kuberi telah memberi pelajaran bagi anak itu untuk tidak
pernah memakannya lagi.’
Keluar dari perbatasan, sang pengelana bertemu pemuda yang tadi malam
ia beri uang. Si pemuda berkata, “Hei, bodoh, terimakasih atas uangnya,
berkat kamu aku bisa berjudi semalam suntuk bersama teman-temanku.” Si
pemuda kembali tersenyum dan melanjutkan perjalanan. Dalam hati ia
berkata, ‘Pemuda itu terlihat senang, setidaknya aku telah membuat orang
merasa bahagia.’
Di desa lain, karena saat itu akhir tahun, salju mulai berjatuhan.
Dinginnya yang menusuk tulang membuat siapapun pasti membutuhkan baju
hangat untuk bisa bertahan di luar. Sang pengelana tidak punya mantel.
Satu-satunya baju yang ia punya hanyalah yang sedang melekat di
badannya. Saat malam tiba, ia berusaha menghangatkan tubuhnya dengan
menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. Tiba-tiba ia melihat seorang
nenek yang sedang berjalan tanpa mantel. Si nenek terlihat sangat
kedinginan.
Sang pengelana menghampirinya, lalu bertanya, “Nek, kenapa kau keluar
tanpa memakai mantel, bukankah cuaca sangat dingin?” Si nenek sambil
menggigil menjawab, “Ya anak muda, aku tak punya mantel, aku hanyalah
seorang janda tua miskin, maukah kau memberiku mantel?”
“Seandainya aku punya, pasti akan kuberikan. Tapi sayang aku sendiri
juga tak punya, dan uangku sudah habis. Pakailah bajuku saja, Nek.
Setidaknya dengan pakaian dobel cukup untuk sementara menghangatkan
badanmu.”, jawab sang pengelana. Lalu ia melepas bajunya dan
memberikannya pada si nenek. Nenek itupun langsung pergi. Kini sang
pengelana amat sangat kedinginan tanpa baju yang melindungi kulitnya.
Sang pengelana pun terpaksa menggunakan dedaunan untuk ia jadikan baju.
Keesokan harinya, kembali sang pengelana melanjutkan perjalanan. Kali
ini ia harus masuk ke hutan. Sebelum masuk hutan, sang pengelana
melihat nenek tua yang tadi malam ia beri bajunya sedang menjual baju
itu, bersama seorang kakek yang adalah suaminya. Sang pengelana
tersenyum. Mungkin nenek itu memang sangat membutuhkan uang, pikirnya.
Di dalam hutan, sang pengelana bertemu dengan sesosok makhluk.
Ternyata ia adalah goblin, dan goblin itu berkata bahwa ia membutuhkan
sang pengelana, lalu meminta sang pengelana untuk masuk lebih dalam ke
hutan. Sang pengelana tentu saja dengan senang hati berniat membantu si
goblin. Setelah mereka sampai ke bagian hutan yang lebih gelap, si
goblin berkata, “Aku lapar, sangat lapar. Aku membutuhkan tubuhmu untuk
makananku. Bolehkah?” Sang pengelana berkata, “Jika memang itu kau
butuhkan, aku tak keberatan.”
Si goblin langsung melahap tubuh sang pengelana. Pertama-tama
tangannya, lalu kakinya, begitu seterusnya hingga yang tersisa hanyalah
bagian kepalanya. Si goblin bertanya dengan heran mengapa sang pengelana
tidak berontak bahkan tidak berteriak sedikitpun. Sang pengelana
menjawab, “Kalau aku berteriak, aku akan menghambatmu untuk melahapku.
Sehingga kau tak bisa merasa kenyang dengan segera.” Selesai berkata
begitu, sang goblin langsung melahap mata sang pengelana, bagian
ternikmat dari tubuh sang pengelana selain hatinya. Si goblin lalu
memberikan secarik kertas yang sebelumnya ia tulisi kata “BODOH”, dan
berkata, “Ini hadiah untukmu, terimakasih atas santapan lezatnya”, lalu
pergi.
Sang pengelana, yang telah kehilangan matanya, tidak tahu apa isi
tulisan itu. Ia berkali-kali mengucapkan “Terimakasih, terimakasih, aku
sangat senang. Baru kali ini ada yang mengucapkan terimakasih padaku dan
memberi hadiah padaku. Terimakasih…”
Air matanya terus bercucuran karena perasaan haru dan bahagia meski
ia tidak mempunyai mata. tak lama kemudian, sang pengelana menghembuskan
nafas terakhirnya. Ia meninggal dengan seulas senyuman bahagia.
itulah cerita singkat dari si pengelana bodoh yg begitu mudah percaya dan akhirnya tertipu.
tapi apakah dia benar benar bodoh ?
cobalah kita pejamkan mata kita, kita renungkan apa yg telah pengelana itu lakukan.
bukankah dia begitu baik dan iklas memberikan bantuan kepada orang lain ?
bukankah dia adalah orang yg peduli dengan orang sekitarnya ?
bukankah apa yg dia lakukan itu adalah tindakan yg mulia untuk membantu sesama ?
bukankah orang sepertinya sudah jarang kita temui didunia ini ?
apakah kita pun menganggapnya sebagai pengelana bodoh juga ??